Ganti Depari
Jurusan
Pendidikan Teknik Elektro FPTK UPI
Jl. Dr.
Setiabudhi No.207 Bandung 40154
gantidepari@yahoo.com
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan
efektivitas model pembelajaran kooperatif
team games tournament dengan model pembelajaran learning cycle terhadap prestasi belajar siswa. Kedua pembelajaran
merupakan menekankandimana peserta didik bekerja dalam kelompok kecil untuk
saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajarandengan
berpusat pada siswa (student centered).
Metode yang digunakan yaitu kuasi eksperimen dengan subyek terdiri dari dua
kelas yaitu kelas X TAV 3dan X TAV4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan rata-rata hasil belajar antara model pembelajaran learning cycle (0,58) denganTeam games tournament
(0,73) yaitu thitung=
3,69 sehingga diperoleh thitung = 3,69> ttabel(0,95)(58) = 1,676. Penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatifteam games tournament lebih baik
dibandingkan dengan model learning cycle
dalam meningkatkan prestasi belajar siswa.
Kata kunci: model pembelajaran, elektronika,
digital
Abstract: This study discusses the comparison of
the effectiveness of Team games
tournament cooperative learning model and learning cycle model on
students’ achievement. Both of these methods emphasize a situation where
students work in small groups and help each other to learn the course material.
Students become the center of the learning activity (student-centered). This
study uses quasi-experiment method, with subjects consisting of two classes,
i.e. class X TAV 3 and X TAV 4. The results show that there is a difference in
average academic achievement between learning
cycle model (0,58) and team
games tournament (0,73). tobt = 3,69, thus tobt =
3,69 > ttable(0.95)(58) = 1,676. It is concluded that a learning
activity with TGT cooperative learning model is better than a learning activity
with learning cycle model in improving students’ achievement.
Keywords: learning
models, electronics, digital
PENDAHULUAN
Guru memiliki
peran vital dalam proses pembelajaran di kelas, guru memiliki tugas dan
tanggung jawab menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan kegiatan
pembelajaran, mengevaluasi, menganalisis hasil evaluasi, dan melakukan tindak
lanjut hasil pembelajaran. Guru akan menjadi “aktor” penentu keberhasilan siswa
dalam mengadopsi dan menumbuhkembangkan nilai-nilai kehidupan. Tuntutan dalam dunia pendidikan sudah banyak berubah,
guru perlu menyusun dan melaksanakan kegiatan belajar
mengajar dimana anak dapat aktif membangun pengetahuannya sendiri. Sesuai dengan pandangan konstruktivisme yaitu keberhasilan
belajar tidak hanya bergantung pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi
juga pada pengetahuan awal siswa.
Berdasarkanhasil
penelitian Irdam Mardiana (2007 : 81), diketahui bahwa prestasi belajar siswa dengan
menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament dengan rata-rata
72,83 lebih baik dibandingkan prestasi siswa dengan menggunakan model pembelajaran konvensional dan memiliki rata-rata 58,83.Pemilihan
strategi, pendekatan, metode, teknik dan model pembelajaran yang menarik dan
tepat dapat membantu guru dan peserta didik mencapai tujuan pembelajaran.Salah
satu model pembelajaran dapat dikembangkan oleh guru yaitu pembelajaran kooperatif
TGT dan model pembelajaran siklus belajar
(learning cycle), dimana kedua model pembelajaran berpusat pada siswa (student centered).Tujuan dari penelitian
ini yaitu mengetahui seberapa besar perbedaan antara penggunaan model
pembelajaran siklus belajar (learning cycle)
dan model pembelajaran TGT dengan membandingkan prestasi belajar siswa.
Pembelajaran kooperatif
TGT merupakan hasil modifikasi
pembelajaran tutorial dimana pada saat diskusi kelompok didesain kelompok
kooperatif dan diberi istilah model diskusi “berpikir-berpasangan-berempat”
atau think-pair-square, yaitu
dikembangakan oleh Frank Lyman dan Spencer Kagan. TGT terdiri dari 5 langkah
tahapan yaitu: tahap presentasi kelas (class precentation), belajar
dalam kelompok (Team), permainan (games), pertandingan (tournament),
dan perhargaan kelompok (team recognition). TGT yaitu salah satu
tipe pembelajaran kooperatif yangmenempatkan siswa dalam kelompok belajar
yangberanggotakan 5 sampai 6 orang siswa yang memilikikemampuan, jenis kelamin
dan suku kata atau ras yangberbeda. Dengan adanya heterogenitas anggota
kelompok,diharapkan dapat memotivasi siswa untuk saling membantuantar siswa
yang berkemampuan lebih dengan siswa yangberkemampuan kurang dalam menguasai
materi pelajaran.Guru menyajikan materi, dan siswa bekerja dalam kelompokmereka.
Kerja kelompok
guru memberikan Lembar Kerja Siswa (LKS) kepada setiap kelompok.Tugas yang
diberikan dikerjakan bersama-sama dengan anggota kelompoknya. Apabila ada dari
anggota kelompok yang tidak mengerti dengan tugas yang diberikan, maka anggota
kelompok yang lain bertanggungjawab untuk memberikan jawaban atau
menjelaskannya, sebelum mengajukan pertanyaan tersebut kepada guru. Hal ini akan
menyebabkan tumbuhnya rasa kesadaran pada diri siswa bahwa belajar secara
kooperatif itu menyenangkan. Untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok
telah menguasai pelajaran, maka seluruh siswa akan diberikan permainan
akademik. Dalam permainan akademik siswa akan dibagi dalam meja turnamen,
dimana setiap meja turnamen terdiri dari 5 sampai 6 orang yang merupakan wakil
dari kelompoknya masing-masing. Dalam setiap meja permainan diusahakan agar
tidak ada peserta yang berasal dari kelompok yang sama. Siswa dikelompokkan
dalam satu meja turnamen secara homogen dari segi kemampuan akademik, artinya
dalam satu meja turnamen kemampuan setiap peserta diusahakan agar
setara.Permainan ini diawali dengan memberitahukan aturan permainan.Setelah itu
permainan dimulai dengan membagikan kartu soal untuk bermain (kartu soal dan
kunci ditaruh terbalik di atas meja sehingga soal dan kunci tidak
terbaca).Permainan pada tiap meja turnamen dilakukan dengan aturan sebagai
berikut.
Pertama,
setiap pemain dalam tiap meja menentukan dulu pembaca soal dan pemain yang
pertama dengan cara undian. Kemudian pemain yang menang undian mengambil kartu
undian yang berisi nomor soal dan diberikan kepada pembaca soal. Pembaca soal
akan membacakan soal sesuai dengan nomor undian yang diambil oleh pemain.
Selanjutnya soal dikerjakan secara mandiri oleh pemain dan penantang sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan dalam soal. Setelah waktu untuk mengerjakan
soal selesai, maka pemain akan membacakan hasil pekerjaannya yang akan ditangapi
oleh penantang searah jarum jam.
Skor yang
diperoleh setiap peserta dalam permainan akademik dicatat pada lembar pencatat
skor.Skor kelompok diperoleh dengan menjumlahkan skor-skor yang diperoleh
anggota suatu kelompok.Kemudian dibagi banyaknya anggota kelompok tersebut.
Skor kelompok ini digunakan untuk memberikan penghargaan tim berupa sertifikat
dengan mencantumkan predikat tertentu ataupun penghargaan yang diberikan bisa
dalam bentuk yang lain.
Menurut
pandangan kontruktivisme, otak siswa pada dasarnya tidak seperti gelas kosong
yang siap diisi dengan air, atau siap diisi dengan semua informasi yang berasal
dari pikiran guru, melainkan otak siswa tidak kosong tetapi telah berisi
pengetahuan yang dikonstruksi siswa sendiri sewaktu anak berinteraksi dengan
lingkungan. Implikiasi dari pandangan ini adalah bahwa pengetahuan tidak dapat
utuh ditransfer dari piokiran guru kepikiran siswa, tetapi siswalah yang harus
aktif secara mental membangun pengetahuan dan pemahaman dalam proses
pembelajaran.
Sampai saat ini
masih ada sebagian guru yang menganut teori tabula rasa yaitu bahwa pengetahuan
dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa.Hal ini telah
telah menimbulkan berbagai kegagalan pendidikan umum khususnya pendidikan di
sekolah kejuruan. Berbeda halnya dengan sebagian ilmuwan yang menganut paham kognitif, dan
percaya kepada model konstuktivis tentang pengetahuan. Mereka berusaha untuk
menjawab pertanyaan epistimologi mengenai belajar yaitu “bagaimana kita menjadi
tahu tentang apa yang kita ketahui” jawaban yang diberi tahu pengamat
konstuktivisme adalah menurut Bodnes (1986), bahwa “pengetahuan itu dibangun
dalam pikiran siswa”.
Teori konstruktivisme dianggap
sebagai pandangan baru dalam pendidikan meskipun sebenarnya konstruktivisme
menggunakan pandangan filsafat, pandangan ini dikemukakan Giambattista Vico (1710), “apa yang
dipelajari akan bermakna bagi individu apabila bahan ajar yang dikaji dimulai
dari apa yang telah diketahui peserta didik sebelumnya”.
Piaget (1971),
percaya bahwa “setiap makhluk hidup beradaptasi dan dan mengorganisasi
lingkungan fisik di sekitarnya agar tetap hidup”. Bagi Piaget, pikiran dan
tubuh juga terkena aturan main yang sama. Oleh karena itu, ia berpikir bahwa
perkembangan pemikiran juga mirip dengan perkembangan biologis, yaitu perlu
beradaptasi dan mengorganisasi dengan lingkungan sekitar.Piaget sendiri
menyatakan bahwa teori pengetahuan itu pada dasarnya adalah teori adaptasi
pikiran ke dalam suatu realitas, seperti organism beradaptasi dengan
lingkungannya, berhasil meneliti secara ilmiah pandangan konstruktivisme dengan
mengemukakan teori tentang struktur genetik. Dalam tesisnya Piaget mengemukakan
bahwa organism menyusun pengalaman dengan jalan menciptakan struktur mental dan
menerapkannya dalam pengalaman. Piaget
mendeteksi eksistensi struktur tersebut berdasarkan studi terhadap individu.
Berdasarkan studi tersebut diketahui adanya suatu proses aktif yang
memungkinkan organism atau individu yang berinteraksi dalam lingkungan dan
mentranformasikan lingkungan dalam pikirannya dengan bantuan struktur yang
telah ada dalam pikirannya (Kueller, 1984). Informasi baru diterima siswa pada
waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya akan membentuk struktur kognitif
tertentu. Menurutnya struktur pikiran merupakan sumber pemahaman manusia
tentang dunia realita.Ia juga mengemukakan struktur kognitif interpretasi
manusia berkembang, sebagai hasil dari interaksi yang lebih kompleks dengan
dunia realita.
Pendekatan
konstruktivisme dalam pembelajaran menekankan pentingnya peran pengetahuan awal
dalam belajar. Dalam merancang aktivitas kelas, guru harus membuat program
pengajarannya atas dasar pengetahuan siswa. Dalam kenyataannya, jika guru tidak
mengetahui pengetahuan awal siswa, maka dapat terjadi miskonsepsi, jika terjadi
miskonsepsi maka akan menimbulkan kesulitan belajar.Menurut pandangan
konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif dimana peserta
didik membangun sendiri pengetahuannya. Peserta didik mencari arti sendiri dari
apa yang mereka pelajari. Ini merupakan proses yang menesuaikan konsep dari
ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka
(Suparno 1997:62).
Menurut prinsip
konstruktivisme, seorang seorang pengajar atau guru berperan sebagai mediator
dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik.
Oleh karena itu, tidak ada mutu strategi mengajar satu-satunya dapat digunakan
dimanapun dan dalam situasi apapun. Setiap guru yang baik akan berusaha
mengembangkan caranya sendiri dalam mengajar.Prinsip yang kembangkan dalam
konstruktivisme yaitu:
1.
Pengetahuan dibangun
oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial.
2.
Pengetahuan tidak dapat
dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan kreativitas murid sendiri
untuk menalar.
3.
Murid aktif mengkontruksi
terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep yang lebih rinci,
lengkap, sesuai dengan konsep ilmiah.
4.
Guru sekedar membantu
menyediakan sarana dan situasi agar proses kontruksi siswa berjalan mulus.
Siklus belajar (learning cycle)merupakan
suatu model pembelajaran dengan berpusat pada siswa (student centered). Strategi mengajar model siklus belajar
memungkinkan seorang peserta didik untuk tidak hanya mengamati hubungan, tetapi
juga menyimpulkan dan menguji penjelasan tentang konsep-konsep yang
dipelajari.Karakteristik kegiatan belajar pada masing-masing tahap learning cyclemencerminkan pengalaman
belajar dalam mengkontruksi dan mengembangkan pemahaman konsep.Model learning
cycle dalam penelitian ini yaitu model yang sudah mengalami perkembangan
dalam istilah fasenya.
Pada tahap eksplorasi, siswa diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca
inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan.Kegiatan
eksplorasi diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) ditandai
dengan munculnya pertanyaan dan mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat
tinggi (high level reasoning),
diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana.Munculnya
pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa
untuk menempuh fase berikutnya.
Pada fase pengenalan konsep diharapkan terjadi proses menuju
kesetimbangan antara penguasaan konsep siswa dengan konsep baru dipelajari
melalui kegiatan dengan membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka
dan berdiskusi. Pada tahap pengenalan konsep siswa mengenal istilah berkaitan
dengan konsep baru.Fase penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep
dan motivasi belajar, karena siswa mengetahui penerapan nyata dari
konsep.Implementasi learning cycle
dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yakni mengelola
berlangsungnya fase tersebut mulai dari perencanaan (terutama pengembangan
perangkat pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaanarahan dan
proses pembimbingan) sampai evaluasi. Efektifitas implementasi learning cycle biasanya diukur melalui
observasi proses dan pemberian tes. Jika ternyata hasil dan kualitas
pembelajaran tersebut ternyata belum memuaskan, maka dapat dilakukan siklus
berikutnya dan pelaksanaannya harus lebih baik dibanding siklus sebelumnya
dengan cara mengantisipasi kelemahan siklus sebelumnya, sampai hasilnya
memuaskan.
Terdapat beberapa perbedaan pada model pembelajaran TGTdengan model
pembelajaran siklus belajar (learning cycle).Model
pembelajaran TGT menerapakan dimana siswa harus mengerjakan LKS atau mempelajari
modul dan mempresentasikannya.Adanya turnamen akademik yang bersifat permainan
dengan membagi kelompok secara heterogen.Adanya penghargaan kelompok dan
pergeseran (bumping) setelah
pelaksanaan turanamen akademik. Sedangkan model pembelajartan siklus melajar
menekankan fase, yaitu: fase pengenalan konsep pengetahuan awal siswa lebih
digali, tidak ada turnamen akademik, dan pembelajaran lebih bersifat diskusi
dengan siswa sekelasnya ataupun dengan guru.
Elektronika
digital adalah salah satu mata pelajaran yang mempunyai kompetensi standar. Menguasai
elektronika digital meliputi: gerbang logika dasar, rangkaian kombinasi,
rangkaian sekuensial dan dasar analog to
digital convertermaupun dasar digital
to analog converter.Materi pokok pembelajaran elektronika digital antara
lain: gerbang logika dasar seperti gerbang AND, gerbang OR, gerbang NOT; rangkaian
kombinasi seperti gerbang NAND, gerbang NOR, gerbang EX-OR, gerbang EX-NOR,
pembanding adder, substractor, decoder, encoder. Rangkaian sekuensial seperti:
flip-flop dasar, SR flip-flop, JK flip-flop, T flip-flop, D flip-flop, counter,
register. Selanjutnya pada penelitian
yang digunakan materi elektronika digital yang meliputi Rangkaian Kombinasi
seperti gerbang NAND, gerbang NOR, gerbang exclusive OR, gerbang exclusive NOR,
half adder, full adder, substractor, decoder dan enkoder.
METODE
Metode yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu kuasi eksperimen.Prosedur penelitian
menggunakan desain kelompok kontrol prates-postes tanpa acak (pretest-posttest non-equivalent control
group design).Pemilihan desain sesuai dengan kondisi subjek penelitian,
yakni sudah terbentuk secara utuh (naturally
format intact group).Subjek penelitian dimaksud yaitu kelompok siswa dalam
satu kelas.Populasi penelitian ini yaitu siswa kelas X
Program Keahlian Teknik Audio Video(TAV) SMK
Negeri 6 Bandung dan sampel yang digunakan yaitu siswa kelas X TAV 3 sebagai
kelas eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran TGT, dan siswa kelas X
TAV 4 sebagai kelas kontrol dengan menggunakan model pembelajaran siklus belajar.
HASIL PENELITIAN
Data pokok yang
diperoleh dalam penelitian ini yaitu data nilai hasil belajar siswa dalam mata
pelajaran elektronika digital.Hasil analisis data penelitian diperoleh data
sebagai berikut:
Tabel
1. Perbandingan Nilai Pretes dan Postes
|
Kelas
|
Pretes
|
Postes
|
|
TGT
|
53
|
77,9
|
|
Learning Cycle
|
47
|
68,9
|
Berdasarkan uji normalitas dan homogenitas yang telah dilakukan
sebelumnya didapatkan kesimpulan bahwa data dari kedua sampel yaitu kelas
kontrol dan kelas ekperimen berdistribusi normal dan berasal dari populasi
dengan varians sama.Tahap berikutnya, yaitu dengan melakukan uji t untuk melihat apakah kedua sampel
memiliki rata-rata sama dengan menguji signifikansi perbedaan rata-rata.
Tabel
2.Hasil Uji Hipotesis
|
Kriteria
|
Kelas Kontrol
|
Kelas Eksperimen
|
|
Jumlah Sampel (n)
|
30
|
30
|
|
Standar deviasi (S)
|
9,34
|
12,37
|
|
Varians
|
87,15
|
153,09
|
|
Rata-rata (
|
68,90
|
77,93
|
|
thitung
|
3,19
|
|
|
ttabel
|
1,676
|
|
Berdasarkan uji t, hasilnya menunjukan bahwa t hitung > t tabel. Sehingga dapat disimpulkan bahwaterdapat perbedaan penguasaan antara kelas
eksperimen dan kelas kontrol setelah diberikan perlakuan atau H0ditolak.
Tabel
3.Hasil Perhitungan Gain
|
Kriteria
|
Kelas Kontrol
|
Kelas Eksperimen
|
|
Jumlah Sampel (n)
|
30
|
30
|
|
Standar deviasi (S)
|
0,15
|
0,17
|
|
Varians
|
0,02
|
0,03
|
|
Rata-rata (
|
0,58
|
0,73
|
|
thitung
|
3,69
|
|
|
ttabel
|
1,676
|
|
Berdasarkan
pengolahan gain, dapat disimpulkan bahwa peningkatan prestasi
belajar siswa pada pokok bahasan gerbang
logika kombinasi pada program
diklat elektronika digitaldengan menggunakan model pembelajaran TGTlebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan prestasi belajar siswa dengan menggunakan pembelajaran siklus
belajar (learning cycle).
PEMBAHASAN
Respon siswa
terhadap penggunaan model pembelajaran TGT
dan model pembelajaran siklus
belajar (learning cycle) sebagian
besar sikap siswa menunjukan sikap positif atau setuju pada program diklat
Elektronika Digital.Dilihat dari hasil presentase rata-rata respon siswa
terhadap penerapan pembelajaran model TGTyaitu
sekitar 78% siswa menyatakan setuju.Sedangkan hasil presentase rata-rata respon
siswa terhadap penerapan model pembelajaran siklus belajar (learning
cycle)
yaitu sekitar 72% siswa menyatakan setuju.
Hasil pengolahan
data dan pengujian hipotesis dapat ditemukan bahwa rata-rata nilai mata
pelajaran elektronika digital dengan perlakuan TGT lebih tinggi dari pada kelas
dengan perlakuan learning cycle.Terdapat
perbedaan penguasaan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah diberi
perlakuan.Peningkatan prestasi belajar siswa pada pokok bahasan rangkaian kombinasi
pada mata pelajaran elektronika digital dengan menggunakan model pembelajaran
TGT lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan prestasi belajar siswa dengan
menggunakan pembelajaran siklus belajar.Respon siswa terhadap penerapan model
TGT lebih besar dibandingkan model learning
cycle.
Berdasarkan
hasil pengolahan data, diperoleh rata-rata nilai mata pelajaran elektronika
digital dengan perlakuan TGT sebesar 77,93 dan pada kelas perlakuan learning cycle sebesar 68,90. Bila kita
mengacu kepada skala seratus yaitu dengan criteria 90-100 (amat baik); 75-89
(baik); 60-74 (cukup); dan 60-59 (kurang).Hal tersebut dapat diinterpretasikan
bahwa nila rata-rata mata pelajaran elektronika digital dengan perlakuan TGT
termasuk pada kategori baik.Pada kelas dengan perlakuan learning cycle termasuk pada kategori cukup.Hal ini mungkin
disebabkan oleh respon siswa yang menunjukkan sikap positif terhadap model
pembelajaran TGT sebesar 78 % dibandingkan model pembelajaran learning cycle 72%.Selain itu pada
pembelajaran TGT adanya heterogenitas anggota kelompok, dengan harapan dapat
memotivasi siswa untuk saling membantu antar siswa berkemampuan lebih dengan
siswa yang berkemampuan kurang dalam menguasai materi pelajaran. Hal ini akan
menyebabkan tumbuhnya rasa kesadaran pada diri siswa bahwa belajar secara
kooperatif itu menyenangkan. Selanjutnya untuk memastikan bahea seluruh anggota
kelompok telah menguasai seluruh pelajaran, maka seluruh siswa akan diberi permainan akademik.
Selanjutnya
berdasarkan uji t dimana hasilnya menunjukkan bahwa t hitung = 3,19 dan t tabel
= 1,676, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan penguasaan antara kelas
eksperimen dan kelas kontrol setelah diberikan perlakuan. Hal ini mungkin
disebabkan oleh beberapa hal dimana pada kelas eksperimen siswa mengerjakan LKS
atau modul dan mempresentasikannya.Adanya turnamen akademik yang bersifat
permainan dengan membagi kelompok secara heterogen.Penghargaan kelompok dan
pergeseran setelah pelaksanaan turnamen akademik, sedangkan pada model learning cycle (kelas kontrol) tidak ada
turnamen akademik.Pada saat fase pengenalan konsep pengetahuan awal siswa lebih
digali, pembelajaran lebih bersifat diskusi dengan siswa sekelasnya ataupun
dengan guru.
Berdasarkan uji
t data gain ditemukan bahwa
peningkatan prestasi belajar siswa pada pokok bahasan rangkaian kombinasi pada
mata pelajaran elektronika digital dengan menggunakan model pembelajaran TGT
lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan prestasi belajar siswa dengan
menggunakan model pembelajaran lerning
cycle. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti sudah dijelaskan pada
temuan sebelumnya yaitu nilai rata-rata
mata pelajaran elektronika digital pada pokok bahasan rangkaian
kombinasi lebih tinggi pada kelas eksperimen dibandingkan kelas kontrol. Penguasaan
materi pelajaran kelas eksperimen lebih tinggi dari pada penguasaan materi kelas
kontrol, peningkatan prestasi belajar siswa pada pokok bahasan rangkaian kombinasi
pada mata pelajaran elektronika digital dengan model pembelajaran TGT lebih
tinggi dibandingkan dengan peningkatan prestasi belajar siswa dengan
menggunakan pembelajaran learning cycle.Respon
siswa terhadap model pembelajaran TGT lebih besar dari pada model pembelajaran learning cycle.
Hasil
penelitian memberikan gambaran bahwa model pembelajaran kooperatif tipe
TGT dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.Agar
peningkatan prestasi belajar lebih baik dari penelitian yang penulis lakukan,
dibutuhkan dukungan fasilitas,
kreatifitas, alat dan biaya cukup memadai. Hendaknya
peneliti mempersiapkan pembelajaran secara matang.
Disamping itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran,
dan waktu.
Peranan guru dalam proses belajar mengajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGTcenderung dominan. Agar kegiatan pembelajaran tetap
terkontrol dan berjalan dengan kondusif. Slain itu, guru harus lebih
mempersiapkan diri dalam memberikan pengajaran agar siswa dapat lebih aktif
dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga seluruh potensi siswa dapat
teroptimalkan.
Aktivitas siswa
selama pembelajaran menunjukan bahwa, penerapan model pembelajaran kooperatif
tipe TGT dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa seperti mendengarkan atau
memperhatikan guru pada saat penyajian materi. Mencatat hal-hal penting tentang
informasi yang didapat pada proses pembelajaran, membaca, dan mengerjakan tugas.
Saling kooperatif selama PBM dan menjaga kekompakan dalam belajar serta dalam
diskusi sehingga dapat memecahkan masalah dan mempresentasikan kerja kelompok.
Aktivitas siswa adalah keterlibatan siswa dalam bentuk sikap, pikiran,
perhatian dalam kegiatan belajar guna menunjang keberhasilan proses belajar
mengajar dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut.
Dalam kegiatan pembelajaran ini telah nampak kegiatan pembelajaran yang
menempatkan siswa sebagai pusat kegiatan belajar mengajar (student centered). Sedangkan guru hanya bertindak sebagai
fasilitator dan pendorong siswa belajar lebih giat, sesuai dengan indikator
aktivitas siswa.Hasil penelitian menunjukkan, pertama mayoritas siswa beraktivitas
dalam pembelajaran. Kedua, aktivitas pembelajaran didominasi oleh siswa. Ketiha
mayoritas siswa mampu mengerjakan tugas yang diberikan guru melalui
pembelajaran kooperatif.
Kesan
dan tanggapan guru melalui wawancara menyatakan bahwa dengan menerapkan model TGT kondisi kelas menjadi lebih aktif.
Siswa menjadi berani tampil dalam mengungkapkan
pendapatnya. Sedangkan kesan dan tanggapan siswa menyatakan bahwa kegiatan
belajar jadi lebih menyenangkan dan dapat terlatih memecahkan contoh
permasalahan melalui kegiatan praktikum.Kendala yang dihadapi dalam menerapkan model TGT dalam kegiatan pembelajaran eletronika
digital. Diantaranya yaitu pada saat
pembelajaran melalui tahapan TGT guru merasa kesulitan dalam mengorganisasikan waktu.Dalam melaksanakan tahapan kegiatan praktikum masih dihadapi
dengan kendala keterbatasan alat-alat praktikum.
Kemudian pada tahapan presentasi hasil praktikum, siswa
masih kurang terbiasa tampil menyampaikan pendapatnya di depan kelas.
Peningkatan kemampuan akedemik yang dimiliki oleh peserta didik dalam pembelajaran
kooperatif tipe TGT, tentu tidak terlepas dari keterlibatan peserta didik yang
lain dalam kelompok dimana mereka berkumpul. Oleh karena, berdasarkan
pengertian tentang pembelajaran kooperatif. Para peserta didik berkumpul dalam
sebuah kelompok dengan jumlah anggota antara 4-5 oranng dengan karakteristik
(tingkat kemampuan, jenis kelamin, suku, ras, dan lain-lain) yang
heterogen. Hal ini yang perlu difahami
bahwa dalam pembelajaran kooperatif, terdapat hal-hal positif seperti hubungan
saling menguntungkan, semangat kerja kelompok. Semangat kompetisi dan
komunikasi yang efektif antara anggota kelompok. Dengan hal-hal tersebut, sudah
barang tentu para peserta didik akan belajar dengan senang, karena tidak
dilakukan dibawah tekanan. Hal ini sesuai dengan beberapa ciri dari pembelajaran
kooperatif, yaitu: (a) setiap anggota
memiliki peran, (b) terjadi hubungan interaksi langsung di antara peserta
didik, (c) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga
teman sekelompoknya, (d) guru membantu mengembangkan keterampilan interpersonal
kelompok, (e) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan. Selain
itu, dalam pembelajaran koopertaif, terdapat tiga konsep sentral yang menjadi
karakteristik pembelajaran kooperatif
yaitu penghargaan kelompok, pertanggungjawaban individu, dan kesempatan
yang sama untuk berhasil.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan
pemahaman peserta diklat terhadap materi pelajaran yang diikutinya. Kenyataan
ini sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran kooperatif,
khususnya dimilikinya kemampuan akademik
oleh peserta didik. Hal ini sejalan dengan tujuan pembelajaran kooperatif,
yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan baik dalam aspek akademik,
pengakuan terhadap perbedaan individu, dan keterampilan sosial.
KESIMPULAN
Kesimpulan penelitian ini yaitu terdapat perbedaan
yang signifikan antara hasil belajar peserta didik dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe TGT dan dengan menggunakan model siklus belajar learning cycle.Peningkatan prestasi belajar siswa pada pokok bahasan gerbang
logika kombinasi pada program
diklat elektronika digital dengan menggunakan model pembelajaran TGTlebih baik dibandingkan dengan peningkatan prestasi belajar siswa dengan menggunakan pembelajaran learning cycle.Oleh karena itu, untuk
pembelajaran pada pelajaran ini disarankan untuk menggunakan model pembelajaran
TGT. Namun demikian, model pembelajaran learning
cycle tidak baik, tetapi kurang cocok untuk diterapkan pada mata pelajaran
ini.Kedua model pembelajaran tersebut memiliki karakteristik yang berbeda,
sehingga dalam penerapan juga berbeda.Oleh karena penerapannya berbeda, maka
hasil yang diperolehnya juga berbeda. Sesungguhnya tidak ada model pembelajaran
yang paling, namun aka nada model pembelajaran yang paling cocok atau tepat
untuk diterapkan. Baik diterapkan secara sendiri atau diterapkan secara
kombinasi dengan model lain.
DAFTAR PUSTAKA
Asmani, J.M. (2009). Sekolah Life Skills Lulus Siap Kerja.
Yogyakarta: Diva Press.
Budiningsih, C. Asri. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Depari,
Ganti. (2011). Teknik Digital. Bandung: Nuansa Aulia.
Isjoni.(2009). Cooperative Learning Efektifitas Pembelajaran Kelompok.Bandung: Alfa Beta.
Lie, Anita. (2002). Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang
Kelas. Jakarta: PT Grasindo.
Lie, Anita. (2007). Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo
Sardiman.A.M. (2011).Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Slavin, E. Robert.(2008). Cooperative Learning Teori, Riset dan
Praktik. Bandung: Nusa Media.
Solihatin, E. dan Raharjo.
(2007). Cooperative Learning Analisis
Model Pembelajaran IPS. Jakarta: Bumi Aksara.
Sondang, P. Siagian.
(2003).Manajemen Sumber Daya Manusia.Jakarta:
Bumi Aksara.
Sudibyo, Elok. (2002). Beberapa Model Pengajaran dan Strategi Belajar dalam
Pembelajaran Fisika. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Suparno, Paul.
(1997). Filsafat Konstuktivisme dalam
Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Trianto. (2007). Model-Model Pembelajaran Inovatif
Berorientasi Kontruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Widjanarka, Wijaya. (2006). Teknik Digital. Jakarta: Erlangga.






0 komentar:
Post a Comment