A.
Definisi Teori Belajar Konstruktivisme.
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks
filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan
hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir
(filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh
manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah
yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan
itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Sedangkan menurut Tran Vui Konstruktivisme adalah suatu filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman-pengalaman sendiri. Sedangkan teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain.
Dari keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan
bahwa teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar
menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang
diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Aspek-aspek belajar Konstruktivistik
Fornot mengemukakan aspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation), konsep pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna (the construction of meaning). Dari ketiga aspek tersebut oleh J. Piaget bermakna yaitu adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau
pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses
kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru
dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini terus berjalan. Asimilasi
tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan
skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan
mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru.
Akomodasi dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman
baru seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata
yang telah dipunyai. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi.
Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang
cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu
kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi
seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka
terjadilah ketidaksetimbangan. Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah
akomodasi dan struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya
struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus
tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang. Tetapi bila terjadi
kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada
sebelumnya.
B.
Prinsip-prinsip belajar konstruktivisme
Ada beberapa prinsip yang harus kita ketahui
dalam konstruktivisme, yaitu:
1).Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
2).Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru
kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk
menalar.
3).Murid aktif mengkontruksi secara terus menerus,
sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
4).Guru sekedar membantu menyediakan saran dan
situasi agar proses kontruksi berjalan lancer.
5).Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.
6). mencari dan menilai pendapat siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling
penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada
siswa, siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru
dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi
menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan
mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri
untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tanggapan
itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang
lebih tinggi , tetapi harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.
Salah satu teori atau pandangan yang
sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan
mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau
teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan
anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari
lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud
dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan.
Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan
(Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai
konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut
dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah
penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun
kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi
tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi
yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok
dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok
dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa
pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui
tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh
mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan,
perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang
keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap
perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun
kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan
intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan
belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan,
Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1)
siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2)
belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3)
pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara
personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan
pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan
seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan
konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar
kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang
anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang
dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata
sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar
tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami
bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara
faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan,
sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala
Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa
belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun
fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam
konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain
Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi
antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial
dalam belajar.
C.
Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori konstruktivisme, yaitu:
1.
Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar
2.
Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajara pada siswa
3.
Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
4.
Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil
5.
Mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan
6.
Mengharagai peranan pengalaman kritis dalam belajar
7.
Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa
8.
Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa
9.
Berdasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip toeri kognitif
10.
Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses
pembelajaran, seperti prediksi, infernsi, kreasi, dan analisis
11.
Menekankan bagaimana siswa belajar
12.
Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan
siswa lain dan guru
13.
Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif
14.
Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata
15.
Menekankan pentingnya konteks siswa dalam belajar
16.
Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
17.
Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan
pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata
D.
Perbedaan teori belajar Kontruktivistik dengan
beberapa teori yang lain.
Landasan teori belajar mengungkapkan dasar hubungan
antara kegiatan siswa dengan proses-proses psikologi dalam diri siswa. Landasan
teori belajar juga mengungkapkan hubungan yang dasar antara fenomena yang ada
dalam diri siswa. Dibawah ini adalah perbedaan teori konstruktivisme dengan
teori humanistik dan behavioristik.
Teori belajar behavioristik adalah teori belajar yang
menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat dari interaksi antara
stimulus dan respon.
Teori belajar humanistik tertuju pada masalah
bagaimana tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi
yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalamn mereka senidri.Proses belajar
dilakukan dengan memberikan kebebesan yang sebesar-besarnya kepada individu.
Teori belajar kontruktivistik memahami belajar sebagai
proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan oleh si belajar itu sendiri.
Behavioristik menekankan pada keterampilan atau tingkah
laku sebagai tujuan pendidikan, Humanistik menekankan bahawa perilaku setiap
orang ditentukan oleh orang itu sendiri yang dihubungkan dengan
pengalaman-pengalaman mereka sendiri, kontruktivistik menekankan perkembangan
konsep dan pengertian yang mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang
dibuat siswa.
Jika seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya,
meskipun usianya tua tetap tidak akan berkembang pengetahuannya. Suatu
pengetahuan diangap benar bila pengetahuan itu berguna menghadapi dan
memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Pengetahuan tidak bisa
ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh
masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan
suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itui keaktifan
seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuanya.
E.
Implikasi Teori Kontruktivistik.
1). Setiap guru pernah mengalami bahwa suatu materi
telah dibahas dengan jelas-jelasnya namun masih ada sebagian siswa yang belum
mengerti ataupun tidak mengerti materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini
menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi kepada sisiwa dengan
baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar sama sekali. Usaha
keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti dengan hasil yang baik
pada siswanya. Karena, hanya dengan usaha yang keras para sisiwa akan
betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan.
2). Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya,
sehingga pengetahuan materi yang dibangun atau dikonstruksi para siswa
sendirisan bukan ditanamkan oleh guru. Para sisiwa harus dapat secara aktif
mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru ke dalam kerangka
kognitifnya.
3). Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami
model-model mental yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan
penalaran yang dikembangkandan yang dibuat para sisiwa untuk mendukung
model-model itu
4). Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka
sendiri untuk masing-masing konsep materi sehingga guru dalam mengajar bukannya
“menguliahi”, menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan
pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang membantu
perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi mental yang dperlukan.
5). Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga
terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat
dikonstruksi oleh peserta didik.
6). Latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan
melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan
sehari-hari.
7). Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat
menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya. Guru hanya sebagai
fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya
konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Mengimplementasikan
Toeri Konstruktivisme Pada Pendidikan Anak.
Adapun implementasi dari teori belajar
konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai
berikut:
(1) Tujuan pendidikan menurut teori belajar
konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang
memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi,
(2) Kurikulum dirancang sedemikian rupa
sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat
dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah
seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam
kehidupan sehari-hari dan
(3) Peserta didik diharapkan selalu aktif
dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah
berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang
kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Implikasi Teori
Konstruktivisme di Kelas
Berdasarkan
ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme tersebut di atas, berikut ini dipaparka
tentang penerapan di kelas.
1. Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai gagasa-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver)
1. Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai gagasa-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver)
2. Guru mengajukan
pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk
merespon
Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan
Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan
3. Mendorong siswa
berpikir tingkat tinggi
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya
4. Siswa terlibat secara
aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi di kelas
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi di kelas
5. Siswa terlibat dalam
pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hpotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi kelompok dan pengalaman nyata
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hpotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi kelompok dan pengalaman nyata
6. Guru memberika data
mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-sama.
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-sama.
B. Proses Belajar Menurut Konstruktivistik
Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan kontruktivistik
dan dari aspek-aspek si belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi
belajar.
1. Proses belajar kontruktivistik secara
konseptual proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan
sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri
siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara
pada pemuktahiran struktur kognitifnya.
2. Peranan siswa. Menurut pandangan ini
belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus
dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir,
menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru
memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi
peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan
adalah terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri.
3. Peranan guru. Dalam pendekatan ini guru
atau pendidik berperan membantu agar proses pengkontruksian pengetahuan oleh
siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah
dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sebdiri.
4. Sarana belajar. Pendekatan ini menekankan
bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam
mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media,
peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu
pembentukan tersebut.
5. Evaluasi. Pandangan ini mengemukakan bahwa
lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan
interpretasi terhadap realitas, kontruksi pengetahuan, serta
aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman.
0 komentar:
Post a Comment